Tuesday, February 12, 2013

Musisi Jalanan dan Bahasa Tanpa Ucap


Malam ini, suara penyanyi, cabikan gitar akustik, dan gesekan violin dua orang musisi jalanan melengkapi acara makan malam kami. Ada sekitar delapan lagu lintas daerah dipersembahkan, ada lagu batak, manado, hingga melayu. Desisan kompor, gemercik riuh lauk yang sedang dimasak, ocehan para tamu, seakan menjadi instrumen pelengkap.

Lagu Manado dibawakan, "Siapa Bilang Pelaut 'Mata Keranjang'?" Bait awal lagu yang dilantunkan yang oleh sang penyanyi berhasil mencuri perhatian para tamu, termasuk saya. Ada yang senyam-senyum, ada yang langsung menonton, ada yang membahas lirik tersebut dengan rekannya, ada yang perhatiannya tetap tidak teralihkan dari makanan yang tersaji di depannya. "Mereka bermusik dengan hati, makanya lagunya terdengar nikmat," ucap seseorang.



Olahan lagu 'Pergi Untuk Kembali' milik Ello meninggalkan kesan tersendiri untuk saya. Lagu ini cukup populer di zaman Sekolah Dasar dulu. Bernostalgia, kenangan 'Zaman SD' mulai berputar-putar lagi di benak. Kota Pontianak penuh kenangan, gedung sekolah berarsitektur khas Belanda, wajah para guru, permainan khas kanak-kanak, canda, tawa, riuh warna-warni kehidupan awal akhil balik membuat rindu.

Lagu berwarna Melayu. Alunannya syahdu, indah dan dinamis. Kali ini, dimainkan tanpa suara sang penyanyi, hanya petikan gitar dan gesekan violin. Dalam memainkan lagu ini, sang violist terlihat lebih bisa menjiwai. Dinamika nada, vibrato, semua terdengar indah.
Sayang, tiba waktunya untuk pulang.

Musik bisa menjadi bahasa tanpa ucap yang menyatukan kalbu, dapat dimengerti, dirasakan, dan dinikmati oleh hampir semua orang. Mampu melintasi ras, budaya, gender, dan umur. Lebih universal, lebih ekspresif daripada dialog atau monolog. Setuju?

Akhirnya, update-an blog di tahun yang baru ini release juga :D

No comments:

Post a Comment